Al-Qur'an yang merupakan sumber ajaran agama ini (baca; islam) bukanlah sembarang kitab yang untuk memahaminya kita memerlukan interpretasi. Kitab suci tersebut diyakini bahwa isi yang terkandung di dalamnya sebagai hudan li an-nâsi. Karena untuk memahami isi yang terkandung di dalamnya tidak cukup dengan sekedar membaca secara tekstual, tapi harus ada upaya pembacan secara kontekstual dan perangkat yang komplit untuk menghasilkan sebuah pemahaman yang bisa di pertanggung jawabkan. Terdorong dari hal demikianlah para ulama salaf melakukan upaya menyusun berbagai buku yang mengkaji metodologi interpretasi sekaligus karya dari interpretasi mereka, sehingga karya mereka banyak memberikan kontribusi yang mampu menghasilkan sumbangan ilmu pengetahuan (contribution of knowledge). Hasil karya-karya mereka sangatlah banyak, terbukti pada masa sekarang banyak memenuhi rak-rak maktabah dengan berbagai macam corak buku tafsir dan dari ragam penerbitan yang berbeda. Setiap mufassir tentunya mempunyai karakteristik dan keistimewaan tersendiri yang menjadi ciri khas karya mereka, baik itu dilandasi dari wawasan yang dimiliki, latar belakang, pendekatan dan diskursus pengkajian yang mereka pakai dalam penyusunannya.
Terkait dengan perkembangan kajian tafsir, kita tidak bisa melupakan para ulama-ulama dari kota Andalusia. Siapa yang tidak pernah mendengar kota Andalusia, kota yang pernah menjadi simbol kejayaan pemerintahan Islam, Yang sekarang lebih dikenal dengan Spanyol. Tinta emas sejarah mencatat bahwa kota tersebut pernah menjadi kiblat dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan pada masa lalu. Tidak heran, jika di sana bermunculan tokoh-tokoh yang melahirkan karya-karya monumental sebagai perwujudan dari luasnya wawasan mereka dan matangnya disiplin ilmu yang mereka kuasai. Di sana banyak tercatat nama-nama besar dalam bidang tafsir, seperti: Ibn Arabi, Ibn Athiyah, Imam Qurthuby, Abu Hayyan dan lain-lain. Kualitas hasil karya mereka tidak kalah unggul dengan karya ulama tafsir dari timur ( timur yang penulis maksud secara umum yaitu di timu tengah), seperti: Imâm Thabari, Azzamakhsyari, An-nîsâbûri, Arrâzi dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat kita lihat dengan cara membandingkan karya-karya mereka (studi komparatif). Perbandingan ini bertujuan bukan untuk memilah-milah kitab tafsir mana yang patut kita kaji isinya, akan tetapi sebagai upaya untuk lebih mengenal keistimewaan dari karya ulama tafsir Andalusia dan timur. Adapun asas yang mendasar sebagai acuan untuk membandingkan hasil karya mereka antara lain:
1. Metode Penyusunan
Dalam menyusun kitab tafsir, para mufasir menggunakan metodologi tersendiri. Adapun ciri khas produk tafsir Andalusia, para mufasirnya menjelaskan terlebih dahulu metode dan objek kajian yang akan dibahas, dan pada akhir kajian juga dijelaskan maksud dari tujuan penulisan tafsir tersebut. Dengan demikian akan lebih mudah untuk dipahami. Sementara mufasir timur, dalam karya mereka tidak ditemukan penjelasan secara terperinci metode dan objek kajian yang dibahas seperti pada karya-karya Andalusiyyin, kecuali dalam kitab tafsir An-nîsâbûri, gharâibul qurân wa raghaibul furqân dalam introduction-nya telah dijelaskan secara terperinci tentang metode kajiannya.
Pada umumnya mufasir Andalusia dan timur memakai metode bi al-ma'tsur, yaitu metode yang merujuk pada dalil naqli baik itu merujuk dari ayat lain, hadis nabi, nukilan sahabat dan tabi'in. Metode ini dianggap lebih baik, juga lebih dekat kebenarannya dari pada metode bi al-ra'yi, yaitu metode yang bersandarkan pada pendapat individu, yang dilandasi pada penguasaan segala aspek ilmu bahasa arab seperti; ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan ilmu-l-'Arûdh serta mengenal banyak lafadz arab beserta maknanya dan yang tidak kalah pentingnya pemahaman asbâb al-nuzul (historical contuiniti) serta ilmu nasakh dan mansukh. Maka metode bi al-ra'yi rentan dengan kesalahan.
2. Objek Pembahasan
Perbandingan yang kedua ini juga penting, sebab memperbandingkan objek yang dikaji oleh setiap mufasir. Objek kajian atau wilayah pembahasan setiap mufasir sangat beragam seperti pada objek kajian yang bersifat naqliyah, qiraat, lughowiyah (linguistic), dan pada hukum serta yang lain-lainnya. Namun untuk membandingkan objek kajian mufasir Andalusia dan timur dapat kita bandingkan pada empat hal;
a. Membandingkan tafsir bi al-ma'stur
Pada tafsir imam Thabari, ketika menafsirkan ayat Al-Qurân dengan hadist nabi S.a.w, maka beliau menyertakan perawi dan matan hadist tersebut. Hal itu tidak dilakukan oleh Azzamakhsyari, Arrâzi, An-nîsâbûri, Ibn Athiyah dan Abu Hayyan, mereka hanya menyebutkan pada matan saja. Yang demikian itu menunjukan bahwa keunggulan tafsir imam Thabari hanya berbeda sedikit dengan kitab Tafsir yang lain.
b. Membandingkan qira'at
Pada perbandingan qira'at ini agar mudah dipahami, dibagi menjadi tiga topik perbandingan. Pertama, Penisbatan bacaan kepada sang qori'. Jika kita memperhatikan atau membaca tafsir Arrâzi, An-nîsâbûri, Ibn Athiyah, Imam Qurthuby dan Ibn Hayyan akan kita dapati bahwa mereka dalam kajian ini merujuk pada qiraat as-sab'ah dan menisbatkan bacaan kepada setiap qari' nya. Adapun pada kitab tafsir imam Thabari, Azzamakhsyari dan Ibn arabi tidak menisbatkan bacaan kepada qari' nya, akan tetapi kepada asal daerah qari' tersebut seperti; qiraat Hijaz dan qiraat Iraq. Kedua, Membandingkan pembahasan mengenai bacaan yang menunjukkan arti tertentu. Para mufasir Andalusia dan timur mencapai titik temu mengenai perkara ini, hanya saja Arrâzi, Ibn Athiyah, Ibn Qurthuby dan Abu Hayyan itu lebih baik dalam menyajikan pembahasan terhadap bacaan yang menunjukkan arti tertentu dalam karya mereka dan juga dapat ditemukan nukilan dari beberapa pendapat ulama dan ahli nahwu. Yang demikian itu menjadi karakteristik tersendiri bagi mereka dalam menguji kekuatan dan kelemahan suatu pendapat.
c. Membandingkan dari aspek bahasa (lughowiyah)
Mufasir Andalusia dan timur dalam memberikan makna suatu ayat itu bersifat ijmaliyah - memberikan pemahaman pada arti lafadz-lafadz - serta menjelaskan sumber dan sejarah penggunaan suatu kata. Itu berarti bahwa terdapat kesamaan dengan metode pemaknaan suatu ayat yang mereka gunakan. Kemudian dalam hal pembahasan pada ilmu nahwu juga tidak terdapat perbedaan dalam mengkaji ayat al-Qurân, mereka melakukan dengan sangat teliti dan mendalam, selanjutnya menjelaskan makna yang terkandung sesuai dengan i'rabnya.
d. Membandingkan tentang kajian Isrâiliyat
Berbicara mengenai kisah-kisah atau hikayat Isrâiliyat yaitu dongeng yang berasal dari bangsa Israel yang tersebar melalui mulut kemulut (getok-tular) kemudian sampai kepada umat islam hingga saat ini. Dan itu perlu dikaji ulang, apakah dongeng-dongeng itu benar atau sederetan kisah yang hanya dibuat-buat? Yang pada kenyataannya dapat kita jumpai dalam kitab-kitab tafsir. Oleh karena itu, hal ini dipandang perlu sebagai perbandingan antara mufasir Andalusia dan timur. Para mufasir Andalusia sangat sedikit meriwayatkan dongeng-dongeng Isrâiliyat. Hal itu dilakukan agar perkara itu tidak disandarkan kepada mereka. Karena dongeng Isrâiliyat itu bisa benar atau salah, yang mana itu dilakukan sebagai sikap kehati-hatian mereka. Pada dasarnya mereka menolak meriwayatkan dongeng-dongeng itu karena tidak terdapat dalil yang menguatkan dari al-Qurân dan Hadist.
Adapun imam Thabari tidak menolak dalam meriwayatkan dongeng Isrâiliyat tersebut. Walaupun dongeng-dongeng itu didengungkan secara terang-terangan ataupun dikarenakan tidak sampai mengingkari para nabi. Hal ini menunjukan bahwa tafsir imam Thabari banyak terdapat dongeng-dongeng Isrâiliyat. Maka diperlukan kehati-hatian ketika mengkaji kitab tafsirnya. Kemudian Azzamakhsyari, Arrâzi, dan An-Nîsâburi menentang sebagian dongeng Isrâiliyat yang konon melakukan upaya penolakan dan penyanggahan. Akan tetapi pada kenyataannya juga masih di temukan unsur tersebut dalam tafsir mereka tanpa memberikan isyarah sebagai tanda penolakan dan penyanggahan.
Setelah kita memperhatikan dan membaca bersama-sama objek perbandingan diatas. Bahwa dalam kitab tafsir antara mufasir Andalusia dan timur itu terdapat hal-hal yang berbeda yang menunjukkan karakteristik masing-masing, karena ada ungkapan "li qulli ra'sin ra'yun". Namun demikian, kita dapat melihat titik temu dalam usûl at-tafsir, kaidah, serta metode dan objek kajian dalam tafsir mereka. Terlepas dari itu semua, benar atau salah dalam penafsiran kita kembalikan kepada Yang Maha Tahu. Kemudian, bercermin pada wacana diatas penulis berharap pada diri penulis dan pembaca agar lebih semangat untuk mendalami bahasa arab, serta segala aspek yang berhubungan dengannya sehingga dapat memahami Al-quran dengan benar dan menjadi amaliyah sehari-hari.
Terkait dengan perkembangan kajian tafsir, kita tidak bisa melupakan para ulama-ulama dari kota Andalusia. Siapa yang tidak pernah mendengar kota Andalusia, kota yang pernah menjadi simbol kejayaan pemerintahan Islam, Yang sekarang lebih dikenal dengan Spanyol. Tinta emas sejarah mencatat bahwa kota tersebut pernah menjadi kiblat dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan pada masa lalu. Tidak heran, jika di sana bermunculan tokoh-tokoh yang melahirkan karya-karya monumental sebagai perwujudan dari luasnya wawasan mereka dan matangnya disiplin ilmu yang mereka kuasai. Di sana banyak tercatat nama-nama besar dalam bidang tafsir, seperti: Ibn Arabi, Ibn Athiyah, Imam Qurthuby, Abu Hayyan dan lain-lain. Kualitas hasil karya mereka tidak kalah unggul dengan karya ulama tafsir dari timur ( timur yang penulis maksud secara umum yaitu di timu tengah), seperti: Imâm Thabari, Azzamakhsyari, An-nîsâbûri, Arrâzi dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat kita lihat dengan cara membandingkan karya-karya mereka (studi komparatif). Perbandingan ini bertujuan bukan untuk memilah-milah kitab tafsir mana yang patut kita kaji isinya, akan tetapi sebagai upaya untuk lebih mengenal keistimewaan dari karya ulama tafsir Andalusia dan timur. Adapun asas yang mendasar sebagai acuan untuk membandingkan hasil karya mereka antara lain:
1. Metode Penyusunan
Dalam menyusun kitab tafsir, para mufasir menggunakan metodologi tersendiri. Adapun ciri khas produk tafsir Andalusia, para mufasirnya menjelaskan terlebih dahulu metode dan objek kajian yang akan dibahas, dan pada akhir kajian juga dijelaskan maksud dari tujuan penulisan tafsir tersebut. Dengan demikian akan lebih mudah untuk dipahami. Sementara mufasir timur, dalam karya mereka tidak ditemukan penjelasan secara terperinci metode dan objek kajian yang dibahas seperti pada karya-karya Andalusiyyin, kecuali dalam kitab tafsir An-nîsâbûri, gharâibul qurân wa raghaibul furqân dalam introduction-nya telah dijelaskan secara terperinci tentang metode kajiannya.
Pada umumnya mufasir Andalusia dan timur memakai metode bi al-ma'tsur, yaitu metode yang merujuk pada dalil naqli baik itu merujuk dari ayat lain, hadis nabi, nukilan sahabat dan tabi'in. Metode ini dianggap lebih baik, juga lebih dekat kebenarannya dari pada metode bi al-ra'yi, yaitu metode yang bersandarkan pada pendapat individu, yang dilandasi pada penguasaan segala aspek ilmu bahasa arab seperti; ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan ilmu-l-'Arûdh serta mengenal banyak lafadz arab beserta maknanya dan yang tidak kalah pentingnya pemahaman asbâb al-nuzul (historical contuiniti) serta ilmu nasakh dan mansukh. Maka metode bi al-ra'yi rentan dengan kesalahan.
2. Objek Pembahasan
Perbandingan yang kedua ini juga penting, sebab memperbandingkan objek yang dikaji oleh setiap mufasir. Objek kajian atau wilayah pembahasan setiap mufasir sangat beragam seperti pada objek kajian yang bersifat naqliyah, qiraat, lughowiyah (linguistic), dan pada hukum serta yang lain-lainnya. Namun untuk membandingkan objek kajian mufasir Andalusia dan timur dapat kita bandingkan pada empat hal;
a. Membandingkan tafsir bi al-ma'stur
Pada tafsir imam Thabari, ketika menafsirkan ayat Al-Qurân dengan hadist nabi S.a.w, maka beliau menyertakan perawi dan matan hadist tersebut. Hal itu tidak dilakukan oleh Azzamakhsyari, Arrâzi, An-nîsâbûri, Ibn Athiyah dan Abu Hayyan, mereka hanya menyebutkan pada matan saja. Yang demikian itu menunjukan bahwa keunggulan tafsir imam Thabari hanya berbeda sedikit dengan kitab Tafsir yang lain.
b. Membandingkan qira'at
Pada perbandingan qira'at ini agar mudah dipahami, dibagi menjadi tiga topik perbandingan. Pertama, Penisbatan bacaan kepada sang qori'. Jika kita memperhatikan atau membaca tafsir Arrâzi, An-nîsâbûri, Ibn Athiyah, Imam Qurthuby dan Ibn Hayyan akan kita dapati bahwa mereka dalam kajian ini merujuk pada qiraat as-sab'ah dan menisbatkan bacaan kepada setiap qari' nya. Adapun pada kitab tafsir imam Thabari, Azzamakhsyari dan Ibn arabi tidak menisbatkan bacaan kepada qari' nya, akan tetapi kepada asal daerah qari' tersebut seperti; qiraat Hijaz dan qiraat Iraq. Kedua, Membandingkan pembahasan mengenai bacaan yang menunjukkan arti tertentu. Para mufasir Andalusia dan timur mencapai titik temu mengenai perkara ini, hanya saja Arrâzi, Ibn Athiyah, Ibn Qurthuby dan Abu Hayyan itu lebih baik dalam menyajikan pembahasan terhadap bacaan yang menunjukkan arti tertentu dalam karya mereka dan juga dapat ditemukan nukilan dari beberapa pendapat ulama dan ahli nahwu. Yang demikian itu menjadi karakteristik tersendiri bagi mereka dalam menguji kekuatan dan kelemahan suatu pendapat.
c. Membandingkan dari aspek bahasa (lughowiyah)
Mufasir Andalusia dan timur dalam memberikan makna suatu ayat itu bersifat ijmaliyah - memberikan pemahaman pada arti lafadz-lafadz - serta menjelaskan sumber dan sejarah penggunaan suatu kata. Itu berarti bahwa terdapat kesamaan dengan metode pemaknaan suatu ayat yang mereka gunakan. Kemudian dalam hal pembahasan pada ilmu nahwu juga tidak terdapat perbedaan dalam mengkaji ayat al-Qurân, mereka melakukan dengan sangat teliti dan mendalam, selanjutnya menjelaskan makna yang terkandung sesuai dengan i'rabnya.
d. Membandingkan tentang kajian Isrâiliyat
Berbicara mengenai kisah-kisah atau hikayat Isrâiliyat yaitu dongeng yang berasal dari bangsa Israel yang tersebar melalui mulut kemulut (getok-tular) kemudian sampai kepada umat islam hingga saat ini. Dan itu perlu dikaji ulang, apakah dongeng-dongeng itu benar atau sederetan kisah yang hanya dibuat-buat? Yang pada kenyataannya dapat kita jumpai dalam kitab-kitab tafsir. Oleh karena itu, hal ini dipandang perlu sebagai perbandingan antara mufasir Andalusia dan timur. Para mufasir Andalusia sangat sedikit meriwayatkan dongeng-dongeng Isrâiliyat. Hal itu dilakukan agar perkara itu tidak disandarkan kepada mereka. Karena dongeng Isrâiliyat itu bisa benar atau salah, yang mana itu dilakukan sebagai sikap kehati-hatian mereka. Pada dasarnya mereka menolak meriwayatkan dongeng-dongeng itu karena tidak terdapat dalil yang menguatkan dari al-Qurân dan Hadist.
Adapun imam Thabari tidak menolak dalam meriwayatkan dongeng Isrâiliyat tersebut. Walaupun dongeng-dongeng itu didengungkan secara terang-terangan ataupun dikarenakan tidak sampai mengingkari para nabi. Hal ini menunjukan bahwa tafsir imam Thabari banyak terdapat dongeng-dongeng Isrâiliyat. Maka diperlukan kehati-hatian ketika mengkaji kitab tafsirnya. Kemudian Azzamakhsyari, Arrâzi, dan An-Nîsâburi menentang sebagian dongeng Isrâiliyat yang konon melakukan upaya penolakan dan penyanggahan. Akan tetapi pada kenyataannya juga masih di temukan unsur tersebut dalam tafsir mereka tanpa memberikan isyarah sebagai tanda penolakan dan penyanggahan.
Setelah kita memperhatikan dan membaca bersama-sama objek perbandingan diatas. Bahwa dalam kitab tafsir antara mufasir Andalusia dan timur itu terdapat hal-hal yang berbeda yang menunjukkan karakteristik masing-masing, karena ada ungkapan "li qulli ra'sin ra'yun". Namun demikian, kita dapat melihat titik temu dalam usûl at-tafsir, kaidah, serta metode dan objek kajian dalam tafsir mereka. Terlepas dari itu semua, benar atau salah dalam penafsiran kita kembalikan kepada Yang Maha Tahu. Kemudian, bercermin pada wacana diatas penulis berharap pada diri penulis dan pembaca agar lebih semangat untuk mendalami bahasa arab, serta segala aspek yang berhubungan dengannya sehingga dapat memahami Al-quran dengan benar dan menjadi amaliyah sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar