Proses akulturasi budaya Islam Nusantara
Indonesia merupakan Negara berpenduduk mayoritas Muslim. Dilihat dari segi kuantitas yang begitu spektakuler dibandingkan dengan Negara-negara lain, hal ini tentunya tidak terlepas dari sejarah Islamisasi di Nusantara. Letak geografis Indonesia yang berada di tengah garis katulistiwa menjadikannya sebagai sentral lalulintas perlayaran, sehingga dengan kondisi geografis yang menguntungkan ini memudahkan Nusantara dikenal oleh bangsa-bangsa lain, termasuk bangsa Arab. Saudagar-saudagar yang berasal dari semenanjung Arabia yang melakukan perdagangan telah mengenal bangsa ini semenjak sekitar 630 M (tahun kesembilan hijriyah ), bahkan pada masa itu telah terdapat penduduk pribumi yang memeluk Islam. Dengan demikian, fakta ini menunjukan bahwa dakwah Islam telah sampai ke Nusantara tatkala nabi Muhammad masih hidup.
Perkembangan Islam di Indonesia juga tidak terlepas dari peran elit-agamawan serta juru dakwah pada masa itu yang giat melakukan islamisasi masyarakat pribumi. Metode dakwah yang mereka kembangkan menjadi dasar uniknya corak Islam di Nusantara dibanding dengan model Islam di Negara lain. Mereka tidak hanya mengislamkan masyarakat pribumi, namun juga adat istiadat dan budayanya. Ada proses akulturasi yang dilakukan sehingga tradisi dan budaya lokal dapat terakomodasi dan pada gilirannya melahirkan corak Islam yang khas "ala Nusantara". Pada waktu itu penduduk pribumi sebelum datangnya Islam memeluk agama Hindu, Budha dan Animisme serta Dinamisme. Dengan adanya proses akulturasi, menjadikan Islam ala Nusantara berbeda dan lebih unik dibanding dengan Islam yang dipeluk oleh komunitas Muslim lainnya. Berbeda dengan pola dakwah yang dikembangkan oleh gerakan Wahabi misalnya, dimana nilai-nilai tradisi serta budaya lokal diberangus habis sehingga corak Islam yang dilahirkan cenderung rigid, kaku, anti kompromi dan tidak mentolerir budaya lokal, dalam konteks ini paling tidak mendapat justifikasinya dari fenomena gerakan Wahabi di Saudi yang nota bene merupakan tempat munculnya gerakan tersebut.
Kita sering mendengar orang bertanya, jika ajaran Islam telah bercampur dengan adat istiadat dan budaya, lalu dengan model Islam seperti ini apakah tidak akan mempengaruhi orisinalitas Islam itu sendiri? Dalam konteks ini, Islam yang direpresentasikan sering disebut sebagai Islam periferal (pinggiran), juga biasa disebut sebagai Islam pikiran. Dengan pengertian bahwa Islam di Nusantara ini berasal dari berbagai model kebudayaan yang melingkupinya sehingga seolah-olah Islam hanya bagian dari kebudayaan tersebut. Dan pengikut ajaran ini akan begitu mudah mencampuradukkan antara ajaran Islam dengan dunia perdukunan, atau hal-hal yang bersifat supranatural.
Dalam konteks ini, penilain terhadap kemurnian Islam tertentu tidak bisa menggunakan standar bahwa penganutnya sering pergi ke dukun, ke kuburan dan lain sebagainya. Dari hasil penelitian membuktikan bahwa seorang Muslim melakukan praktek-praktek khurâfat tidak hanya terjadi di Nusantara, namun ternyata hal itu juga eksis di Timur tengah. Jadi praktek-praktek tersebut tidak bisa menjadi standar orisinalitas Islam di wilayah periferal.
Contoh perbedaan antara budaya Nusantara dan Arab yang merepresentasikan karakteristik keislaman di culture area yang distingtif bisa kita lihat pada kasus dua TKW Indonesia di Arab Saudi yang dituduh sebagai tukang sihir karena mengumpulkan rambut dan kuku, dimana budaya mengumpulkan rambut dan kuku bagi wanita yang sedang menstruasi di Nusantara merupakan hal yang lumrah dan sudah menjadi tradisi masyarakat serta mendapat pijakan doktrinalnya dari pendapat Al-Ghazali dalam ihyâ 'ulûmuddînnya walaupun masuk dalam ranah yang masih diperdebatkan. Di Arab Saudi, prakter serupa dianggap bagian dari praktek sihir sehingga dilarang dan pelakunya dijatuhi hukuman penjara.
Ketika membincangkan karakteristik keagamaan, khususnya Islam di Indonesia, timbul sebuah pertanyaan: bagaimana sebenarnya karakter Islam di Nusantara? Ada beberapa karakter yang secara umum merepresentasikan karakteristik keislaman di Nusantara. Pertama Pluralitas keagamaan. Sebuah kenyataan bahwa Islam di Nusantara secara faktual mengadopsi madzhab Syafî'i dalam ranah fikihnya dan beraliran Asy'ariyyah dalam teologinya. Hal ini mendapat justifikasi bahwa para juru dakwah di Nusantara pada masa-masa awal masuknya Islam bermadzhab Syafi'i. Tetapi di masa sekarang seiring dengan arus globalisasi maka kepluralan masyarakat semakin meningkat. Berbagai aliran dan paham masuk di culture area Nusantara yang berimplikasi pada semakin menonjolnya pluralitas keberagamaan. Pluralitas disini bukanlah pluralisme seperti yang di kampanyekan oleh aktivis Islam liberal yang menganggap semua agama itu benar. Pluralitas yang saya maksud adalah terdapatnya lebih dari satu agama yang diakui pemerintah yang hidup di muka bumi pertiwi ini.
Karakteristik yang kedua adalah kuatnya toleransi antar umat beragama dan saling menghormati hak-hak dalam menjalankan keyakinan masing-masing. Faktor penyebabnya adalah faktor budaya masyarakat Indonesia itu sendiri yang—sebelum datangnya Islam—telah menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Kemudian didukung oleh watak Islam yang baik atau sering disebut dengan penetration pasific sehingga terkenal dengan adat ketimuran yang kebudayaannya bersifat baik dan positif.
Karakteristik yang ketiga yaitu "moderat " yang didukung oleh system dan iklim politik yang lebih toleran. Pada masa kerajaan, pemerintah yang berkuasa tidak mengekang perkembangan agama tertentu, sehingga dengan kedatangan agama baru yaitu Islam tidak mengusik ketentraman dan kedamaian masyarakat pada masa itu dan inilah generasi pertama perkembangan Islam di Nusantara. Kemudian pada generasi kedua mampu menjadi pendorong utama pembebasan bangsa-bangsa di Nusantara dari belenggu penjajahan bangsa-bangsa Barat. Dan ini membuktikan adanya simbiosis mutualisme yang terjadi antara pemerintah dan agama sehingga melahirkan sikap interaksi yang saling toleran.
Namun apa yang terjadi pada zaman modern ini? Pascajatuhnya orde baru dan bangkitnya era reformasi adalah awal segalanya. Karakteristik keagamaan khususnya Islam yang berintegrasi dengan kebudayaan di Nusantara yang "moderat ", toleran, dan pluralis tercoreng dengan munculnya gerakan-gerakan yang mengatasnamakan sebagai Islamis. Baik yang berhaluan ekstrim-konservatif maupun liberal tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Dua gerakan yang sama-sama ekstrim tersebut lalai akan realitas keindonesiaan yang kaya akan tradisi dan budaya, namun sebaliknya justeru mereka hanya mengimpor "produk" dari luar yang tidak mengenal karakter budaya lokal.
Kelompok ekstrimis-konservatif melakukan generalisasi permasalahan dan solusi yang diajukan antara masyarakat dan kultur Arab dengan masyarakat Indonesia tanpa mau memahami perbedaan realitas budaya dan masyarakat kita. Sedangkan kelompok liberal melakukan generalisasi permasalahan dan solusi yang diajukan antara masyarakat Barat-Kristen dengan penduduk Indonesia-Muslim.
Lalai melakukan kontekstualisasi terhadap realitas kultur masyarakat kita yang dilakukan oleh kedua genre arus keberagamaan diatas mengakibatkan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin pelik. Kaum ekstrmis-konservatif tidak melanjutkan perjuangan tokoh-tokoh Islam Negeri ini di masa lalu, melainkan mengadopsi begitu saja apa yang ada pada masyarakat dan kultur lain. Seperti gerakan yang berkembang di Mesir (Ikhwánul muslimin) dan Negeri-negeri Arab lainnya. Kelompok-kelompok ini akan gagal dalam menyampaikan pesan Islam, sebab mereka mengabaikan realitas masyarakat serta tradisi dan kultur yang berkembang dalam masyarakat tertentu. Sebaliknya, pola yang mereka kembangkan sebenarnya cenderung lebih tepat disebut sebagai gerakan "Arabisasi", bukan "Islamisasi", karena gerakan Islam yang seperti ini hanya mengimpor budaya bangsa Arab lalu mengadopsinya untuk masyarakat Indonesia, bukan membangun budaya pribumi yang Islami atau mengislamkan budaya pribumi sebagaimana perjuangan tokoh-tokoh Islam pada generasi pertama dan kedua di Nusantara.
Sebagai sebuah kesimpulan, penulis mengajukan analogi yang sangat sederhana untuk menggambarkan perbedaan karakter antara Islam di Nusantara dengan Islam-islam lainnya, khususnya di Timur-tengah bahwa nilai-nilai universal Islam di Indonesia sebagai Islam periferal itu bagaikan pohon padi, di mana pohon padi tersebut jika tertiup angin maka akan mengikuti kemana arah angin itu bertiup, namun tetap kokoh pada posisinya. Sedangkan Islam di Timur tengah itu bagaikan pohon kurma, di mana jika tertiup angin maka pohon itu tetap kokoh berdiri.
by:AgOeS.A.P
Indonesia merupakan Negara berpenduduk mayoritas Muslim. Dilihat dari segi kuantitas yang begitu spektakuler dibandingkan dengan Negara-negara lain, hal ini tentunya tidak terlepas dari sejarah Islamisasi di Nusantara. Letak geografis Indonesia yang berada di tengah garis katulistiwa menjadikannya sebagai sentral lalulintas perlayaran, sehingga dengan kondisi geografis yang menguntungkan ini memudahkan Nusantara dikenal oleh bangsa-bangsa lain, termasuk bangsa Arab. Saudagar-saudagar yang berasal dari semenanjung Arabia yang melakukan perdagangan telah mengenal bangsa ini semenjak sekitar 630 M (tahun kesembilan hijriyah ), bahkan pada masa itu telah terdapat penduduk pribumi yang memeluk Islam. Dengan demikian, fakta ini menunjukan bahwa dakwah Islam telah sampai ke Nusantara tatkala nabi Muhammad masih hidup.
Perkembangan Islam di Indonesia juga tidak terlepas dari peran elit-agamawan serta juru dakwah pada masa itu yang giat melakukan islamisasi masyarakat pribumi. Metode dakwah yang mereka kembangkan menjadi dasar uniknya corak Islam di Nusantara dibanding dengan model Islam di Negara lain. Mereka tidak hanya mengislamkan masyarakat pribumi, namun juga adat istiadat dan budayanya. Ada proses akulturasi yang dilakukan sehingga tradisi dan budaya lokal dapat terakomodasi dan pada gilirannya melahirkan corak Islam yang khas "ala Nusantara". Pada waktu itu penduduk pribumi sebelum datangnya Islam memeluk agama Hindu, Budha dan Animisme serta Dinamisme. Dengan adanya proses akulturasi, menjadikan Islam ala Nusantara berbeda dan lebih unik dibanding dengan Islam yang dipeluk oleh komunitas Muslim lainnya. Berbeda dengan pola dakwah yang dikembangkan oleh gerakan Wahabi misalnya, dimana nilai-nilai tradisi serta budaya lokal diberangus habis sehingga corak Islam yang dilahirkan cenderung rigid, kaku, anti kompromi dan tidak mentolerir budaya lokal, dalam konteks ini paling tidak mendapat justifikasinya dari fenomena gerakan Wahabi di Saudi yang nota bene merupakan tempat munculnya gerakan tersebut.
Kita sering mendengar orang bertanya, jika ajaran Islam telah bercampur dengan adat istiadat dan budaya, lalu dengan model Islam seperti ini apakah tidak akan mempengaruhi orisinalitas Islam itu sendiri? Dalam konteks ini, Islam yang direpresentasikan sering disebut sebagai Islam periferal (pinggiran), juga biasa disebut sebagai Islam pikiran. Dengan pengertian bahwa Islam di Nusantara ini berasal dari berbagai model kebudayaan yang melingkupinya sehingga seolah-olah Islam hanya bagian dari kebudayaan tersebut. Dan pengikut ajaran ini akan begitu mudah mencampuradukkan antara ajaran Islam dengan dunia perdukunan, atau hal-hal yang bersifat supranatural.
Dalam konteks ini, penilain terhadap kemurnian Islam tertentu tidak bisa menggunakan standar bahwa penganutnya sering pergi ke dukun, ke kuburan dan lain sebagainya. Dari hasil penelitian membuktikan bahwa seorang Muslim melakukan praktek-praktek khurâfat tidak hanya terjadi di Nusantara, namun ternyata hal itu juga eksis di Timur tengah. Jadi praktek-praktek tersebut tidak bisa menjadi standar orisinalitas Islam di wilayah periferal.
Contoh perbedaan antara budaya Nusantara dan Arab yang merepresentasikan karakteristik keislaman di culture area yang distingtif bisa kita lihat pada kasus dua TKW Indonesia di Arab Saudi yang dituduh sebagai tukang sihir karena mengumpulkan rambut dan kuku, dimana budaya mengumpulkan rambut dan kuku bagi wanita yang sedang menstruasi di Nusantara merupakan hal yang lumrah dan sudah menjadi tradisi masyarakat serta mendapat pijakan doktrinalnya dari pendapat Al-Ghazali dalam ihyâ 'ulûmuddînnya walaupun masuk dalam ranah yang masih diperdebatkan. Di Arab Saudi, prakter serupa dianggap bagian dari praktek sihir sehingga dilarang dan pelakunya dijatuhi hukuman penjara.
Ketika membincangkan karakteristik keagamaan, khususnya Islam di Indonesia, timbul sebuah pertanyaan: bagaimana sebenarnya karakter Islam di Nusantara? Ada beberapa karakter yang secara umum merepresentasikan karakteristik keislaman di Nusantara. Pertama Pluralitas keagamaan. Sebuah kenyataan bahwa Islam di Nusantara secara faktual mengadopsi madzhab Syafî'i dalam ranah fikihnya dan beraliran Asy'ariyyah dalam teologinya. Hal ini mendapat justifikasi bahwa para juru dakwah di Nusantara pada masa-masa awal masuknya Islam bermadzhab Syafi'i. Tetapi di masa sekarang seiring dengan arus globalisasi maka kepluralan masyarakat semakin meningkat. Berbagai aliran dan paham masuk di culture area Nusantara yang berimplikasi pada semakin menonjolnya pluralitas keberagamaan. Pluralitas disini bukanlah pluralisme seperti yang di kampanyekan oleh aktivis Islam liberal yang menganggap semua agama itu benar. Pluralitas yang saya maksud adalah terdapatnya lebih dari satu agama yang diakui pemerintah yang hidup di muka bumi pertiwi ini.
Karakteristik yang kedua adalah kuatnya toleransi antar umat beragama dan saling menghormati hak-hak dalam menjalankan keyakinan masing-masing. Faktor penyebabnya adalah faktor budaya masyarakat Indonesia itu sendiri yang—sebelum datangnya Islam—telah menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Kemudian didukung oleh watak Islam yang baik atau sering disebut dengan penetration pasific sehingga terkenal dengan adat ketimuran yang kebudayaannya bersifat baik dan positif.
Karakteristik yang ketiga yaitu "moderat " yang didukung oleh system dan iklim politik yang lebih toleran. Pada masa kerajaan, pemerintah yang berkuasa tidak mengekang perkembangan agama tertentu, sehingga dengan kedatangan agama baru yaitu Islam tidak mengusik ketentraman dan kedamaian masyarakat pada masa itu dan inilah generasi pertama perkembangan Islam di Nusantara. Kemudian pada generasi kedua mampu menjadi pendorong utama pembebasan bangsa-bangsa di Nusantara dari belenggu penjajahan bangsa-bangsa Barat. Dan ini membuktikan adanya simbiosis mutualisme yang terjadi antara pemerintah dan agama sehingga melahirkan sikap interaksi yang saling toleran.
Namun apa yang terjadi pada zaman modern ini? Pascajatuhnya orde baru dan bangkitnya era reformasi adalah awal segalanya. Karakteristik keagamaan khususnya Islam yang berintegrasi dengan kebudayaan di Nusantara yang "moderat ", toleran, dan pluralis tercoreng dengan munculnya gerakan-gerakan yang mengatasnamakan sebagai Islamis. Baik yang berhaluan ekstrim-konservatif maupun liberal tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Dua gerakan yang sama-sama ekstrim tersebut lalai akan realitas keindonesiaan yang kaya akan tradisi dan budaya, namun sebaliknya justeru mereka hanya mengimpor "produk" dari luar yang tidak mengenal karakter budaya lokal.
Kelompok ekstrimis-konservatif melakukan generalisasi permasalahan dan solusi yang diajukan antara masyarakat dan kultur Arab dengan masyarakat Indonesia tanpa mau memahami perbedaan realitas budaya dan masyarakat kita. Sedangkan kelompok liberal melakukan generalisasi permasalahan dan solusi yang diajukan antara masyarakat Barat-Kristen dengan penduduk Indonesia-Muslim.
Lalai melakukan kontekstualisasi terhadap realitas kultur masyarakat kita yang dilakukan oleh kedua genre arus keberagamaan diatas mengakibatkan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin pelik. Kaum ekstrmis-konservatif tidak melanjutkan perjuangan tokoh-tokoh Islam Negeri ini di masa lalu, melainkan mengadopsi begitu saja apa yang ada pada masyarakat dan kultur lain. Seperti gerakan yang berkembang di Mesir (Ikhwánul muslimin) dan Negeri-negeri Arab lainnya. Kelompok-kelompok ini akan gagal dalam menyampaikan pesan Islam, sebab mereka mengabaikan realitas masyarakat serta tradisi dan kultur yang berkembang dalam masyarakat tertentu. Sebaliknya, pola yang mereka kembangkan sebenarnya cenderung lebih tepat disebut sebagai gerakan "Arabisasi", bukan "Islamisasi", karena gerakan Islam yang seperti ini hanya mengimpor budaya bangsa Arab lalu mengadopsinya untuk masyarakat Indonesia, bukan membangun budaya pribumi yang Islami atau mengislamkan budaya pribumi sebagaimana perjuangan tokoh-tokoh Islam pada generasi pertama dan kedua di Nusantara.
Sebagai sebuah kesimpulan, penulis mengajukan analogi yang sangat sederhana untuk menggambarkan perbedaan karakter antara Islam di Nusantara dengan Islam-islam lainnya, khususnya di Timur-tengah bahwa nilai-nilai universal Islam di Indonesia sebagai Islam periferal itu bagaikan pohon padi, di mana pohon padi tersebut jika tertiup angin maka akan mengikuti kemana arah angin itu bertiup, namun tetap kokoh pada posisinya. Sedangkan Islam di Timur tengah itu bagaikan pohon kurma, di mana jika tertiup angin maka pohon itu tetap kokoh berdiri.
by:AgOeS.A.P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar